SUKA nonton film sedih? Entah kenapa ya ada orang yang suka nonton film hanya untuk dibuat menitikkan air mata.
Sebetulnya, saat sebuah film berhasil membuat penontonnya menitikkan air mata berarti film itu telah berhasil mengaduk emosi penonton. Artinya pula, emosi penonton yang duduk di kursi ikut terbawa oleh film yang sedang diputar.
Tempo hari, saya menonton film Satu Jam Saja yang banyak mengumbar emosi sedih. Saya cukup terbawa emosi sedih yang ada di layar. Begitu juga sejumlah penonton lain. Dari situ saya langsung mencoba membuat daftar film-film nasional yang bikin penontonnya termehek-mehek. Daftar ini disusun berdasarkan ingatan saya dan beberapa awak redaksi yang pernah ikut sedih waktu menonton film-film di bawah.
1. Ratapan Anak Tiri (Sutr. Sandy Suwardi Hassan, 1973)
INILAH film yang layak digelari “the ultimate tearjerker—film yang paling bikin penontonnya nangis.” Film ini mencengangkan banyak orang saat edar tahun 1970-an dulu. Sungguh sedih dan tragis nasib seorang anak tiri yang dianiaya ibu tirinya (disuruh makan nasi sisa, jadi babu di rumah sendiri, dipukuli untuk sebuah kesalahan kecil, hingga disuruh tidur di luar). Begitu kejamnya sang ibu tiri di film ini melahirkan imej kalau ibu tiri kejam dan hanya cinta kepada ayah saja. Sutradara Sandy Suwardi Hasan berhasil membawa penontonnya untuk ikut terlibat emosi di film. Sukses film ini kemudian melahirkan sekuelnya, Ratapan Anak Tiri 2 dan Ratapan Anak Tiri 3 serta tren film ratapan yang isinya melulu memancing penontonnya menangis. Akting Faradila Sandy begitu mencuri perhatian sebagai si anak yang disiksa ibu tiri (Tanti Yosepha).
2. Arie Hanggara (Sutr. Frank Rorimpandey, 1985)
KISAH Arie Hanggara adalah kejadian nyata yang menyita perhatian publik tahun 1980-an. Ini kisah tentang kekejaman orang tua menyiksa anak sendiri hingga si anak mati. Tentu, ini modal cerita yang kuat untuk jadi sebuah materi film. Akhirnya pada 1985 lahir film Arie Hanggara. Dan terbukti, filmnya mampu mengundang haru dan jadi yang terlaris di Jakarta waktu itu. Bagian-bagian saat Arie disiksa ayahnya sendiri (Dedy Mizwar) paling mengundang haru—terutama karena kita tahu Arie tak mencuri uang seperti yang dituduhkan. Banyak orang tak sanggup menontonnya. Lebih banyak lagi yang menontonnya sambil sesenggukan menitikkan air mata dan bertanya-tanya: kok bisa sih sekejam itu pada darah daging sendiri?
3. Tabah Sampai Akhir (Sutr. Fritz G. Schadt, 1973)
FILM ini seolah dibuat hanya untuk membuat penontonnya meratap. Tokoh-tokohnya seolah sengaja dibuat kena cobaan bertubi-tubi. Film ini mengisahkan tiga yatim piatu, Suryo (Rano Karno), Bambang (Andy Carol), dan Sri (Astri Ivo). Ketiganya dipesan sang ibu sebelum meninggal untuk mencari paman mereka ke kota. Dari situ penderitaan datang sambung menyambung. Mereka naik truk ganti-berganti, uang untuk beli karcis raib kena tipu, sampai ketiganya jadi cacat: gagu, pincang, dan buta. Tiga anak itu lalu jadi gelandangan, kena razia, dan terpisah. Wah, kurang sedih bagaimana lagi coba?!
4. Rio Anakku (Sutr. Hasmanan, 1973)
RANO Karno sudah jadi bintang sejak kecil. Putra aktor senior Soekarno M. Noor ini mewarisi bakat akting sang ayah. Rano bahkan pernah punya film berjudul Si Rano (1973). Film yang ini, Rio Anakku, berkisah ketika Rio (Rano) berlibur ke desa berkenalan dengan gadis cantik tapi buta, Nunung (Lenny Marlina). Rio lalu meminta Nunung diajak tinggal bersama dan diangkat jadi saudara. Kesederhanaan dan perangai baik Nunung membuat ibu Rio iba dan bertekad menyembuhkan mata Nunung. Sementara itu, Rio sendiri menderita penyakit yang membuatnya tak berumur panjang. Sebelum menutup mata, Rio berpesan agar matanya diberikan pada Nunung. Duh, sedih….
5. Laskar Pelangi (Sutr. Riri Riza, 2008)
LASKAR Pelangi jelas bukan film yang dibuat untuk mengundang haru penonton. Film monumental Riri Riza ini (terlaris sepanjang masa ditonton 4,5 juta pasang mata), memberi pesan agar mencintai pendidikan. Tapi, siapa yang tak menangis haru saat kita melihat Lintang meninggalkan sekolah karena harus jadi kepala keluarga, setelah ayahnya melaut dan tak kembali. Kita sedih karena Lintang adalah murid paling cemerlang di sekolah. Kita sedih karena dengan kejeniusannya Lintang harusnya jadi orang besar.
6. Jangan Ambil Nyawaku (Sutr. Sophan Sophiaan, 1981)
INI film drama keluarga khas film-film nasional era lampau. Temanya tentang anggota keluarga yang menderita sakit keras dan tak punya harapan hidup. Alkisah, Non (Lenny Marlina) menderita tak kunjung diterima oleh keluarga suaminya, Hans Tobing (Frans Tumbuan). Ketika akhirnya diterima, Non malah divonis menderita kanker rahim. Penyakit itu membuat keluarga goncang. Non kehilangan harapan hidup. Frans harus mengorbankan apa saja demi menyelamatkan istrinya. Sementara, anak-anak mereka memendam rasa bersalah atas penyakit sang ibu. Duh... jelas-jelas ditujukan membuat penontonnya sedih terus nih film. Juri-juri FFI 1982 dibuat haru dengan menempatkan film ini dapat 7 nominasi Piala Citra.
7. Diana (Sutr. Nawi Ismail, 1977)
TAHUN 1970-an identik dengan film-film yang tokoh-tokohnya diselamatkan oleh bakat menyanyi sang bintang cilik. Tahun-tahun itu memang era keemasan penyanyi cilik semisal Adi Bing Slamet, Ira Maya Sopha, Chica Koeswoyo, Dina Mariana, Joan Tanamal, dan tentu Diana Papilaya. Film ini khusus dibuat untuk Diana—lihat saja judulnya. Kisahnya berawal dengan kehidupan Rachman (Doddy Sukma) bersama istri dan anaknya, Diana (Diana Papilaya) yang berkecukupan. Kebalikan dengan keluarga Hasan (A Hamid Arif) bersama anaknya, Yuni (Yuni Sahupala) yang menderita karena ulah Hasan yang gemar mabuk dan berjudi. Bencana datang saat Rachman meninggal karena serangan jantung. Usaha keluarga lalu jatuh ke tangan Hasan. Tapi, perangai buruk Hasan tak berubah membuat perusahaan bankrut. Hasan masuk penjara. Diana dan ibunya lalu menyambung hidup dengan berjualan pisang goreng (O ya, jualan pisang goreng jadi ciri khas film-film tahun 1970-an). Hingga pada sebuah pesta, Diana menyanyi. Ia lantas diboyong ke Jakarta dan jadi penyanyi sukses. Di layar muncul tulisan besar SEKIAN.
8. Senyum untuk Mama (Sutr. M Sharieffudin, 1980)
Film ini berkisah tentang seorang janda (Lenny Marlina) dengan tiga putrinya yang berjuang menyambung hidup. Cobaan hidup makin keras saat putri terkecil, Shanti (Santi Sardi) terkena leukemia. Saat pihak rumah sakit minta uang muka, sang ibu terpaksa menjual seluruh perhiasaannya. Untuk menghibur ibunya, Shanti menciptakan lagu “Senyum untuk Mama”. Suster Anna (Alicia Djohar) tertarik pada bakat Shanti dan mengajaknya rekaman. Namun, penyakit maut itu semakin mengintai Shanti. Wah, sedih ya…
9. Ayat-ayat Cinta (Sutr. Hanung Bramantyo, 2008)
AYAT-ayat Cinta membuka tren film religi di penghujung 2000-an. Filmnya sukses karena meramu kisah cinta yang diimbuhi pesan religi. Tanpa muatan religi filmnya bakal jatuh jadi film cinta segitiga biasa. Apalagi karakter Fahri (Fedu Nuril) yang sangat sempurna mengingatkan kita pada sosok Boy di Catatan si Boy—tentu dalam versi islami. Inti kisahnya Fahri dicintai dua wanita cantik bersamaan dan harus membagi cinta di saat bersamaan. Tapi, tentu tak elok mengundang kontroversi dengan mengakhiri film bahwa hidup berpoligami bisa sukses. Maka, satu-satunya jalan salah satu istri Fahri dimatikan. Biar tambah sedih, kita disuguhi kalau istri Fahri yang hendak mati merelakan Fahri untuk istri satunya lagi.
10. Heart (Sutr. Hanny R. Saputra, 2006)
SEBETULNYA saya tak dibuat menangis oleh film ini. Buat saya, para pemainnya seolah ingin sekali membuat penontonnya menangis dengan berakting termehek-mehek. Tapi, nyatanya banyak remaja yang terbawa emosi oleh cerita cinta segitiga antara Farel (Irwansyah), Luna (Acha Septriasa), dan Rachel (Nirina). Kisahnya sederhana, Farel dan Rachel sehabat setia. Tapi kemudian achel yang tomboy memendam cinta pada Farel. Sementara itu, Farel jatuh cinta pada Luna. Nah, Luna ternyata mengidap penyakit hati kronis. Rachel kemudian kecelakaan. Sebagai permintaan terakhir, ia memohon mendonorkan hatinya untuk Luna.
catatan admin buat no. 10 heart artinyakan jantung kenapa hati (liver) yang di donorin yah :)
0 comments:
Post a Comment